KUDUS - Kekhawatiran publik Kota Kretek terhadap
kesebelasan kesayangannya Persiku Macan Muria akan terperosok ke jurang
degradasi terbukti. Setelah Sabtu (23/8) di Stadion Krida Kabupaten
Rembang dihempaskan tuan rumah PSIR dengan angka meyakinkan 2-0.
Pada waktu yang bersamaan, ketiga kesebelasan yang juga teranacam turun kasta,
semua memenangkan pertarungan. Tuan rumah Persipur Purwodadi menang
tipis 3-2 atas tamunya PSIS Semarang. Selanjutnya Persip Pekalongan
mengalahkan Persitema Temanggung 2-0 dan PPSM Magelang juga menang
atas Persis Solo 2-1.
Persiku yang bermain 14 kali hanya mampu meraub nilai 16. Hasil dari
tiga menang, tujuh kali seri dan empat kali kalah, sehingga menemani
Persitema untuk kembali berlaga di ajang kompetisi Divisi. Seperti yang
pernah dialami Persiku pada tahun 2006.
Agus Riyanto sang pelatih Persiku secara hitam putih bertanggung jawab penuh atas kegagalan ini.
Begitu pula manajer Laskar Macan Muria, Agus Imakudin. Keduanya sampai
dengan Minggu (24/8) belum mengeluarkan pernyataan resmi. Selain dua
nama tersebut, pengelola Persiku, PT Kudus Muria Raya (KMR) juga harus ikut bertanggung jawab.
Dengan terdegradasinya Persiku, maka PT KMR yang kehadirannya serba “abu-abu” ini harus legawa menyerahkan kembali mandat
yang pernah diterimanya. Namun publik sepakbola juga tidak tahu menahu
siapa sebenarnya yang memberikan mandat. Apakah pengurus perserikatan
Persiku atau bupati-wakil bupati, atau yang lainnya.
Terlepas dari itu semuanya, terdegradasinya Persiku harus disikapi
dengan arif dan bijaksana.Bupati Kudus Musthofa atau setidaknya Wakil
Bupati Kudus, Abdul Hamid, sebaiknya turun tangan membantu. Kemudian persepakbolaan di Kudus harus ditata ulang secara cermat.
Sejak munculnya sekolah sepakbola (SSB) yang bagai jamur di musim hujan, Pendidikan
Pelatihan (Diklat ) Sepakbola yang dibiayai APBD Kudus, perserikatan
Persiku (Persiku amatir) hingga menyangkut suporter dan penyandang dana.
Kemunculan SSB di Kudus hanya sekedar ikut-ikutan seperti yang
dilakukan di kabupaten/kota lainnya.
Meski harus diakui ada sejumlah SSB yang tertatangani secara profesional.
Selain itu lulusan SSB, tidak memungkinkan untuk segera bergabung ke
Diklat Sepakbola, karena faktor usia. SSB mentok pada usia 15-16 tahun.
Sedang pemain Diklat diawali dari usia 19 tahun, sehingga ada “ruang
hampa kegiatan” selama dua-tiga tahun, Begitu pula ketika memasuki
Persiku Yunior dan Persiku Senior juga ada.
Selain pengurus Persiku (amatir)
harus berani memulai mentrapkan sistem kompetisi yang ketat. Antara lain
persyaratan harus memiliki lapangan dan pelatih (harus dicek
kebenarannya di lapangan). Di Kudus, jumlah anggota perserikatan Persiku
terlalu besar ( data terakhir yang dihimpun Jateng Pos) mencapai 64 klub.Lalu jumlah lapangan sepakbola yang tidak memadai dan memenuhi standar.
Lalu Diklat Sepakbola Putra Kudus
sebaiknya juga harus ditata ulang. “Saya mendengar Diklat ini tidak
memiliki manajer. Padahal dalam era sepakbola modern (profesional)
kehadiran manajer suatu keharusan. Dengan adanya kucuran dana rutin
setiap tahun dari APBD Kudus, maka sangat mungkin penanggung jawab
diklat mengangkat manajer,” ujar Jalal Jalil.
Ia adalah mantan pemain Persiku,
namun akhirnya memilih menjadi PNS dan sejak beberapa tahun terakhir
menjadi pengurus Persita Tangerang. Sedangkan langkah yang juga harusn
dilakukan pengelola Persiku, membangun ulang kerjasama secara
kekeluragaan dengan pihak pengusaha/perusahaan di Kudus.
Selama ini pengurus PT KMR, hanya melulu menyodorkan proposal
minta bantuan. Namun tidak/belum pernah melaporkan secara rinci
(akurat) dan jujur tentang asal muasal dana, pengelolaan dan tanggung
jawab. Perusahaan seringkali dikubili, sehingga kepercayaan para
pengusaha untuk memberikan bantuan kepada pengelola Persiku memudar.
Bahkan sudah pada tahapan antipati
pada pihak pengelola. Meski nasi sudah terlanjur menjadi bubur- Persiku
terdegradasi ke Divisi I, justru menjadi pelecut untuk menata diri
kembali agar tim kebanggan warga Kota Kretek kembali berlaga di kasta
Divisi Utama. Bahkan menyodok ke posisi tertinggi persepakbolaan tanah air, yaitu Liga Sepakbola Indonesia (LSI).
Persiku sudah pernah merasakan saat
ikut berlaga di kasta tertinggi itu, saat kesebelasan berkostum
kebesaran biru-biru ditangani pelatih Riono Asnan. Dengan dua pemain
yang sempat direkrut tim-tim besar di Indonesia,
yaitu Bambang Harsoyo dan Agus Santiko. Bahkan Agus Santiko yang
seharusnya sudah gantung sepatu, masih memperkuat Persiku di Divisi
Utama 2013/2014. Persiku tidak perlu menangis, tetapi Persiku (baca
pengelolanya) harus dikoreksi total. (sup)
sumber : http://m.patiekspres.co/2014/08/terperosok-jurang-degradasi/