SEMARANG-Sepekan jelang perayaan Hari Raya Idul Fitri 1435 H, Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) Jawa Tengah menggelar program untuk
menyukseskan arus mudik Lebaran tahun ini, yakni program Mudik Online.
Program Mudik Online ini berupa informasi mudik, terutama di wilayah
Jawa Tengah dan sekitarnya yang diperuntukkan dengan pengelolaan media
online seperti twitter, website dan fanpage.
Menurut Koordinator Media Center Muntafingah menyatakan bahwa program
ini sebenarnya program tahunan yang disiapkan PKS Jateng, dengan cara
menyampaikan info mudik terbaru melalui twitter PKS Jateng.
dakwatuna.com - Kalau di awal Ramadhan
ada tarhib. Di akhir Ramadhan ada taudi’. Walaupun kata taudi’ berarti
berpisah untuk tidak (sulit) bertemu lagi. Saat berpisah dengan bulan
mulia ini, ada sebuah kaidah, yaitu (من لم يذق مرارة الفراق لم يعرف حلاوة اللقاء) “Orang yang tidak merasakan pahitnya berpisah, pasti belum mengerti manisnya perjumpaan.”
Di
atas kaidah ini, dibangunlah cara bagaimana berpisah dengan bulan
Ramadhan. Saat berpisah dengan bulan Ramadhan, ada dua macam orang:
dakwatuna.com -
Di bus malam ini, rasa kantuk menjalar di tubuh seluruh penumpang.
Nyaris seluruh penumpang bus Jakarta-Cirebon tampak lelap. Hanya satu
dua yang terlihat memandang keluar jendela, sebagian lain sebentar
terbangun untuk menarik resleting jaketnya tinggi-tinggi hingga
menutupi leher, lalu kembali tidur. Suara pengamen yang lumayan merdu
dengan iringan biola tua justru membuat penumpang semakin larut dalam
kantuk, entah kurang perhitungan atau memang pengamen ini ikhlas
mengantarkan para penumpang untuk tidur, yang jelas aku yakin lagu
Camelia 3 itu membuat pendapatannya berkurang.
Pengamen itu
terlihat kumal. Bibirnya hitam akibat asap rokok. Di telinganya terlihat
tiga buah tindikan besar berwarna-warni. Ia mengenakan celana jeans
robek dan sepatu kets yang tak kalah buruk. Penampilannya
persis diriku lima belas tahun silam, ketika baru lulus SMP. Tanpa
bermaksud menghakimi pengamen itu, aku dulu adalah anak brandal.
Pekerjaanku adalah mengamen dengan paksa, meminta uang kepada penumpang
sambil berteriak tanpa menggunakan satu pun alat musik. Mungkin
sebetulnya bukan mengamen, tapi tepatnya memalak. Aku tahu suaraku tak
mungkin menghibur. Aku tak segan menunggu untuk memaksa penumpang
mengeluarkan uang sekedar seribu – dua ribu dengan dalih solidaritas
sosial dan kebersamaan. Aku bilang untuk makan, meski aku yakin mereka
tahu bahwa uang itu aku habiskan untuk beli rokok dan minum-minum dengan
teman-teman sesama pengamen.
Mengingat hari-hari itu dan
membandingkannya dengan kini, adalah hal yang selalu membuat aku ingin
menangis. Kini, bahkan di bus malam ini aku berbaju koko, di tasku
ditempel logo One Day One Juz, sebuah komunitas pembaca
Al-Quran yang sedang marak. Mushaf Al-Quran selalu ada di dalam tas
kemanapun aku melakukan perjalanan sebagai teman terbaik. Berbeda dengan
dulu, di mana rambutku kumal, kulit kusut karena jarang mandi.
Kemana-mana selalu membawa rokok. Hidupku sangat kacau dan tidak ada
rasa tenteram dalam hati. Bahkan tak jarang pada masa-masa itu, aku
berharap kematian segera datang.
Sampai tiba pada hari itu. Ketika
Tuhan menunjukkan kasih sayang-Nya melalui seorang ustadz muda yang
membuat hatiku basah, dan membuka jalan hidupku hingga tenteram seperti
sekarang. Ia yang selama lima tahun berikutnya menjadi guru ngajiku. Ia
yang dengan sabar mengajariku membaca buku iqra meski aku
terbata-bata. Ia yang rela waktu demi waktunya aku sita untuk menjawab
semua pertanyaan-pertanyaanku tentang Tuhan, terutama mempertanyakan
keadilan-Nya untuk aku dan keluargaku.
Aku sedang duduk di halte
bis pada pertemuan pertamaku dengannya saat itu. Waktu itu aku sudah
kehabisan akal dan rasa lapar menusuk ke ulu hati. Aku nyaris mencuri
ketika dari balik tikungan ia memberikan nasi kotak berisi rendang nasi
padang. “Mas, maaf, nasi kotak ini boleh untuk mas. Kebetulan tadi saya
dapat dari seminar.” Tuturnya dengan senyum lembut ketika itu. Bahasanya
sopan. Air mukanya bersih dan penuh aura iman. Baju kokonya sudah tidak
putih, tapi tetap terlihat bersih. Janggut tipis di ujung dagunya
membuatnya terlihat kalem dan alim. Setelah mengucapkan terima kasih,
aku makan dengan lahap dan ia duduk di dekatku menunggu bis pulang. Di
situlah untuk pertama kalinya aku merasakan hatiku gerimis dan dadaku
bergetar.
***
“Bang, partisipasinya bang…” suara pengamen menyadarkanku dari lamunan. Cepat-cepat aku rogoh
selembar uang dua ribuan untuknya, setelah mengucapkan terima kasih,
pengamen itu menyusur ke kursi-kursi belakang. ia tidak seburuk aku
dulu.
Seorang perempuan yang sedang hamil naik di tengah
perjalanan. Padahal hari sudah malam. Lelaki di ujung sana yang
melihatnya segera bergeser memberi tempat. Perempuan itu duduk bahkan
tanpa mengucapkan terima kasih. Mungkin sudah seharusnya.
Di luar sana, gelap menyelimuti bumi. Seiko KW
di lenganku sudah menunjukkan pukul sembilan malam lewat lima. Jalanan
di luar nampak lengang. Aku memandang jauh keluar jendela, papan reklame
dengan cahaya yang terang memberontak malam yang kelam, menyilaukan
mataku.
***
Yang membuat hatiku gerimis sewaktu pertemuan
pertama dengan lelaki, yang kemudian aku panggil ustadz itu adalah
ketika ia menanyakan kabar keluargaku. Pertanyaannya itu membuat aku
serta merta teringat ibu di kampung. Sekalipun hidupku hancur, ibu
bagiku tetaplah ibarat nyawa. Ia adalah harta satu-satunya yang aku
punya. Ayahku sudah meninggal ketika aku kecil, dan aku satu-satunya
pewaris keluarga. Pewaris kesusahan dan kemiskinan. Setiap ingat ibu aku
selalu bergetar. Rasa sayang dan cintaku untuknya berderai-derai.
Pakaian ibuku adalah kesusahan dan kemiskinan. Miskin dan keras sudah
menyatu dalam hidupnya, menjadi nafas dan nyawanya. Ia yang berhutang
kesana kemari untuk memberiku ongkos sekolah pagi hari. Ibu bagiku
adalah dasar lautan terdalam. Sekalipun di dunia ini ada lautan yang
paling dalam, cinta ibu kepadaku jauh lebih dalam. Jika gunung tinggi
menjulang, cinta ibu padaku lebih menjulang. Itulah kenapa sekalipun aku brengsek,
selalu ibu yang mengerik punggungku ketika aku sakit dengan uang logam
dan minyak tanah sampai tertidur. Tak sekali dua kali dalam momen
seperti itu aku mendengar untaian doa dan harapannya ketika aku hendak
lelap. “Gusti, berikan jalan pada anakku untuk mengenal agama…” doanya
sederhana. Agar aku mengenal agama. Tiba-tiba mataku berlinang air mata…
Ibuku memang tak kenal agama terlalu baik. Hanya saja ia sangat hormat
pada pak kyai dan selalu shalat lima waktu meski di kemudian hari aku
tahu bacaannya berantakan. Tak masalah bagiku, karena kesusahan dan
kemiskinan sudah cukup menjadi cara Tuhan untuk mencintainya. Dengan
sabar yang dijalani ibu dalam kesusahan itu, Tuhan akan mencintainya.
Pertanyaan Ustadz berwajah teduh itu menyentak hatiku, dan entah mengapa aku tiba-tiba ingin memperbaiki diri…
***
Sejak
obrolan pertama itu, lantas aku mulai tertarik untuk mengaji pada
ustadz muda bernama Hisyam itu. Belajar mengeja mulai dari iqra satu. Aku membaca a-ba-ta-tsa dengan tertatih, tapi kemajuanku cukup pesat. Sekalipun brandal, otakku memang cukup encer sejak kecil.
Aku mengaji setiap malam senin. Aku absen tidak ikut nongkrong di
perempatan Cibinong hanya setiap malam senin. Malam-malam lainnya aku
masih malak di dalam bis bersama teman-teman nongkrong. Masih merokok
dan tak jarang minum-minuman keras. Tertawa dan menggoda cewek-cewek
yang lalu lalang. Ustadz Hisyam tak pernah memaksa aku untuk berhenti.
Ia hanya mengajari aku mengaji yang kemudian aku kenal dengan istilah halaqah.
Pembinaan sepekan sekali itulah yang membuat hatiku lambat laun
terwarnai oleh nilai-nilai Islam. Ustadz Hisyam bercerita bagaimana
perjuangan Nabi ketika menyebarkan Islam, ketika memimpin perang, juga
ketinggian akhlak beliau. Ustadz muda itu juga berkisah tentang para
sahabat ketika mendapatkan ujian, tak sedikit di antara mereka merupakan
kaum miskin sepertiku. Amar bin Yassir dan bilal bin Rabah adalah dua
nama yang paling kukenal. Tapi tentu paling menarik adalah Umar bin
Khattab. Aku paling suka karena sahabat Umar dikenal kuat dan tak punya
rasa takut kepada musuh. Untuk seorang anak jalanan seperti aku, sifat
Umar tentu sangat heroik.
Aku tak pernah bosan halaqah dengan
ustadz Hisyam. Ia mengajariku akhlak yang baik. Ngaji dengannya tak
hanya ceramah, tapi sikap kesehariannya adalah Islam itu sendiri. Ia
berasal dari keluarga sederhana, mungkin cenderung miskin dibanding para
ustadz lainnya. Pernah suatu kali dalam sebuah demonstrasi di Monas,
kaos ustadz hisyam adalah yang paling kumal di tengah ribuan pendemo
yang mengenakan pakaian putih. Ia sederhana. Satu pagi ia mengayuh
sepeda untuk sekedar memberitahu, “Akhi, nanti jam setengah tujuh ada
demo di Bundaran HI. Antum jangan tidak datang, ya.” Selepas itu ia
kembali mengayuh sepeda ke rumahnya di kecamatan sebelah. Ia tak pernah
mengeluhkan kemiskinan sepertiku, ia katakan bahwa kekayaaan sebenarnya
bukan pada harta tapi ada pada hati.
“Akhi, lapangkanlah hatimu.
Lapang, selapang sabana. Sekalipun di sana ada gajah, harimau, jerapah,
sabana itu akan tetap terlihat luas. Tetapi jika hatimu sempit, sesempit
kamar-kamar tidur, jangankan gajah, seekor ayam akan membuatnya sempit.
Luaskanlah hatimu. Luas, seluas samudera. Sebanyak apapun sampah masuk
dari sungai-sungai di muara, ia akan tetap jernih. Tetapi jika hatimu
sempit, sesempit air di dalam gelas, jangankan sampah dari sungai,
setetes tinta dari pulpen akan membuatnya kotor. Masalah itu rupanya
bukan di luar, tapi ada pada hati kita, di sini” katanya suatu kali
seraya mendekapkan tangan ke dada.
Bagaimana mungkin aku tak
hormat pada sosok ustadz sederhana dan ikhlas seperti itu? Untuk itulah
malam ini, aku bertolak ke Cirebon, mengobati rindu tak tertahankan yang
meluap-luap dalam dadaku. Sudah tak jumpa sepuluh tahun semenjak ia
pindah dari Bogor ke Cirebon, ingin rasanya bersilaturahmi dan
mengucapkan terima kasih karena membuka jalan bagi hidupku untuk menjadi
lebih baik.
Kini, aku sudah mengenal agama jauh lebih baik. Aku
mempunyai dua kelompok binaan yang semuanya anak-anak jalanan. Dalam
beberapa acara tatsqif kerap menggantikan narasumber yang berhalangan, juga mengisi acara-acara outbound dalam kapasitasku sebagai seorang kepanduan.
Malam semakin larut, aku mulai mengantuk..
***
Pagi ini aku terpaku… Aku terpekur di samping sebuah pusara seorang ustadz yang sangat aku cintai. Aku duduk menangis dan tak henti mengirim doa. Lisanku terus menerus mengirim fatihah untuknya..
Aku teringat ucapan lirih terakhir ustadz Hisyam pada halaqah
perpisahan itu. “Akhi, doakanlah ana dalam sujud-sujud antum,
sebagaimana ana pun mendoakan antum dalam sujud-sujud ana.”
Aku
paham bahwa rumus kehidupan hanya dua: meninggalkan atau ditinggalkan.
Tapi aku merasa begitu berat untuk menerima kenyataan bahwa ustadz yang
telah mengenalkan aku ke dalam dekapan hidayah telah kembali kepada-Nya,
terbaring di balik tanah ini. Semoga antum mendapatkan apa yang
seharusnya antum dapatkan, ya ustadzunal kiram… Almahbuub.
Beberapa
waktu lalu aku sempat merasa semangatku turun sama sekali. Bersamaan
dengan semangat ikhwah lain yang juga turun. Aku sungguh khawatir
menjadi orang-orang yang runtuh ketika yang lain tetap teguh. Menjadi
bagian yang terkapar ketika yang lain berusaha tetap tegar.. Aku
mengkhawatiri diriku termasuk ke dalam mereka yang berguguran di jalan
dakwah.
Militansi yang turun itu kemudian berakibat pada rendahnya
intensitas kehadiranku dalam halaqah. Lama-lama aku mulai terlalu
kritis bahkan curga pada setiap kebijakan qiyadah, bahkan mungkin terlalu sinis. Aku merasa berada pada jalan yang benar dan satu-satunya yang objektif. Qiyadah sempat kupandang sebagai bagian dari kelompok yang naif.
Tapi
aku teringat nasehat ustadz Hisyam untuk menengok hati, dan aku sadari
sikap sinis dan lemahnya militansiku dalam dakwah adalah akibat dari
lemahnya imanku, dari rendahnya qiyamullail yang kian jarang, dari tilawah yang terus tergerus, dari dzikir yang tak lagi terukir dan dari sujud yang tak lagi syahdu.
Justru
lemahnya iman yang membuat semangatku lemah, lalu lama-lama aku hanya
menjadi pengamat dakwah, tanpa kontribusi. Pagi ini aku semakin sadar
akan nasihat Murabbi yang terus menerus hidup di dalam hatiku.
Aku masih terduduk, membayangkan senyumnya ketika bergurau dalam halaqah.. Dan membayangkan air matanya ketika memimpin doa rabithah.. Lalu aku menginsafi diri, atas kelemahan iman serta kontribusiku dalam dakwah.
CENDEKIAWAN Muslim, Adian Husaini menilai siapapun presidennya, kita
wajib terus berjuang mewujudkan Indonesia sebagai negara yang bertakwa.
“Kewajiban kita terus mengingatkan penguasa, agar taat kepada Allah,” katanya dalam Fanspage Adian Husaini, Rabu (23/7).
Adian mengatakan, dalam Perspektif Islam (ukhrawi): Jika tidak jadi
Presiden, Allah ringankan Prabowo dari beban teramat berat di akhirat.
Tersenyumlah, Allah maha Adil! Bagi kaum sekuler, syahwat dunia dan
kekuasaan jadi tujuan. Bagi muslim, kekuasaan untuk ibadah. Banyak jalan
lain untuk ibadah.
“Maka tersenyumlah Pak Prabowo! Anda telah menang, berhasil merebut hati
ulama-ulama sejati, dan puluhan juta warga bangsa. Rajawali tetaplah
rajawali!” tuturnya.
“Rajawali tetaplah rajawali! Terbanglah tinggi, tatap cakrawala, tembus
alam dunia. Terbanglah ke Gaza. Di sana saudaramu teraniaya!” tulisnya.
“Yakin dan Ridholah padaTakdir Ilahi. Negeri ini amanah para wali. Allah
tak berdiam diri pada yang dizalimi. Berdoalah untuk kejayaan negeri,”
tambahnya.
Menurut Adian, perjuangan Islam adalah untuk menegakkan kebenaran.
Sukses tidaknya perjuangan jangan hanya diukur dari diraih atau tidaknya
kursi kekuasaan.
“Ibrahim as tetap sukses sabagai Nabi, meskipun kalah oleh raja zalim.
Meski sukses menipu Adam, Al Quran tidak menyebut Iblis sebagai
pemenang!” imbuhnya.
“Kewajiban kita berdakwah dengan hikmah, nasehat yang baik dan debat
yang lebih baik. Ingatkan selalu pada penguasa, bahwa mereka akan
diadili oleh Allah di akhirat!” tutupnya. [Pz/Islampos]
*http://www.pkspiyungan.org/2014/07/adian-husaini-tersenyumlah-pak-prabowo.html
Syarifuddin dewasa sekarang (insert: syarifuddin waktu bocah 5 tahun)
SYARIFUDDIN KHALIFAH KINI DEWASA, BAYI AJAIB NON-MUSLIM AFRIKA
Kembali mengingat peristiwa tahun 90-an, dunia saat itu gempar dengan berita besar seorang bayi berumur 2 bulan dari keluarga Katholik di Afrika yang menolak dibaptis.“Mama, unisibi baptize naamini kwa Allah, na jumbe wake Muhammad” (Ibu, tolong jangan baptis saya. Saya adalah orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya, Muhammad).
Ayah dan ibunya, Domisia-Francis, pun bingung. Kemudian didatangkan seorang pendeta untuk berbicara kepada bayinya itu: “Are You Yesus?” (Apakah kamu Yesus?).
Kemudian dengan tenang sang bayi Syarifuddin menjawab: “No, I’m not Yesus. I’m created by God. God, The same God who created Jesus” (Tidak, aku bukan Yesus. Aku diciptakan oleh Tuhan, Tuhan yang sama dengan yang menciptakan Yesus). Saat itu ribuan umat Kristen di Tanzania dan sekitarnya dipimpin bocah ajaib itu mengucapkan dua kalimat syahadat.
Bocah Afrika kelahiran 1993 itu lahir di Tanzania Afrika, anak keturunan non Muslim. Sekarang bayi itu sudah remaja, setelah ribuan orang di Tanzania-Kenya memeluk agama Islam berkat dakhwahnya semenjak kecil. Syarifuddin Khalifah namanya, bayi ajaib yang mampu berbicara berbagai bahasa seperti Arab, Inggris, Perancis, Italia dan Swahili. Ia pun pandai berceramah dan menterjemahan al-Quran ke berbagai bahasa tersebut. Hal pertama yang sering ia ucapkan adalah: “Anda bertaubat, dan anda akan diterima oleh Allah Swt.”
Syarifuddin Khalifah hafal al-Quran 30 juz di usia 1,5 tahun dan sudah menunaikan shalat 5 waktu. Di usia 5 tahun ia mahir berbahasa Arab, Inggris, Perancis, Italia dan Swahili. Satu bukti kuasa Allah untuk menjadikan manusia bisa bicara dengan berbagai bahasa tanpa harus diajarkan.
a. Latar Belakang Syarifuddin Khalifah
Mungkin Anda terheran-heran bahkan tidak percaya, jika ada orang yang bilang bahwa di zaman modern ini ada seorang anak dari keluarga non Muslim yang hafal al-Quran dan bisa shalat pada umur 1,5 tahun, menguasai lima bahasa asing pada usia 5 tahun, dan telah mengislamkan lebih dari 1.000 orang pada usia yang sama. Tapi begitulah kenyatannya, dan karenanya ia disebut sebagai bocah ajaib; sebuah tanda kebesaran Allah Swt.
Syarifuddin Khalifah, nama bocah itu. Ia dilahirkan di kota Arusha, Tanzania. Tanzania adalah sebuah negara di Afrika Timur yang berpenduduk 36 juta jiwa. Sekitar 35 persen penduduknya beragama Islam, disusul Kristen 30 persen dan sisanya beragam kepercayaan terutama animisme. Namun, kota Arusha tempat kelahiran Syarifuddin Khalifah mayoritas penduduknya beragama Katolik. Di urutan kedua adalah Kristen Anglikan, kemudian Yahudi, baru Islam dan terakhir Hindu.
Seperti kebanyakan penduduk Ashura, orangtua Syarifuddin Khalifah juga beragama Katolik. Ibunya bernama Domisia Kimaro, sedangkan ayahnya bernama Francis Fudinkira. Suatu hari di bulan Desember 1993, tangis bayi membahagiakan keluarga itu. Sadar bahwa bayinya laki-laki, mereka lebih gembira lagi.
Sebagaimana pemeluk Katolik lainnya, Domisia dan Francis juga menyambut bayinya dengan ritual-ritual Nasrani. Mereka pun berkeinginan membawa bayi manis itu ke gereja untuk dibaptis secepatnya. Tidak ada yang aneh saat mereka melangkah ke Gereja. Namun ketika mereka hampir memasuki altar gereja, mereka dikejutkan dengan suara yang aneh. Ternyata suara itu adalah suara bayi mereka. “Mama usinibibaptize, naamini kwa Allah wa jumbe wake Muhammad!” (Ibu, tolong jangan baptis saya. Saya adalah orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya, Muhammad).
Mendengar itu, Domisia dan Francis gemetar. Keringat dingin bercucuran. Setelah beradu pandang dan sedikit berbincang, mereka memutuskan untuk membawa kembali bayinya pulang. Tidak jadi membaptisnya.
Awal Maret 1994, ketika usianya melewati dua bulan, bayi itu selalu menangis ketika hendak disusui ibunya. Domisia merasa bingung dan khawatir bayinya kurang gizi jika tidak mau minum ASI. Tetapi, diagnose dokter menyatakan ia sehat. Kekhawatiran Domisia tidak terbukti. Bayinya sehat tanpa kekurangan suatu apa. Tidak ada penjelasan apapun mengapa Allah mentakdirkan Syarifuddin Khalifah tidak mau minum ASI dari ibunya setelah dua bulan.
Di tengah kebiasaan bayi-bayi belajar mengucapkan satu suku kata seperti panggilan “Ma” atau lainnya, Syarifuddin Khalifah pada usianya yang baru empat bulan mulai mengeluarkan lafal-lafal aneh. Beberapa tetangga serta keluarga Domisia dan Francis terheran-heran melihat bayi itu berbicara. Mulutnya bergerak pelan dan berbunyi: “Fatuubuu ilaa baari-ikum faqtuluu anfusakum dzaalikum khairun lakum ‘inda baari-ikum, fataaba ‘alaikum innahuu huwattawwaburrahiim.”
Orang-orang yang takjub menimbulkan kegaduhan sementara namun kemudian mereka diam dalam keheningan. Sayangnya, waktu itu mereka tidak mengetahui bahwa yang dibaca Syarifuddin Khalifah adalah QS. al-Baqarah ayat 54.
Domisia khawatir anaknya kerasukan setan. Ia pun membawa bayi itu ke pastur, namun tetap saja Syarifuddin Khalifah mengulang-ulang ayat itu. Hingga kemudian cerita bayi kerasukan setan itu terdengar oleh Abu Ayub, salah seorang Muslim yang tinggal di daerah itu. Ketika Abu Ayub datang, Syarifuddin Khalifah juga membaca ayat itu. Tak kuasa melihat tanda kebesaran Allah, Abu Ayub sujud syukur di dekat bayi itu.
“Francis dan Domisia, sesungguhnya anak kalian tidak kerasukan setan. Apa yang dibacanya adalah ayat-ayat al-Qur’an. Intinya ia mengajak kalian bertaubat kepada Allah,” kata Abu Ayub.
Beberapa waktu setelah itu Abu Ayub datang lagi dengan membawa mushaf. Ia memperlihatkan kepada Francis dan Domisia ayat-ayat yang dibaca oleh bayinya. Mereka berdua butuh waktu dalam pergulatan batin untuk beriman. Keduanya pun akhirnya mendapatkan hidayah. Mereka masuk Islam. Sesudah masuk Islam itulah mereka memberikan nama untuk anaknya sebagai “Syarifuddin Khalifah”.
Keajaiban berikutnya muncul pada usia 1,5 tahun. Ketika itu, Syarifuddin Khalifah mampu melakukan shalat serta menghafal al-Quran dan Bible. Lalu pada usia 4-5 tahun, ia menguasai lima bahasa. Pada usia itu Syarifuddin Khalifah mulai melakukan safari dakwah ke berbagai penjuru Tanzania hingga ke luar negeri. Hasilnya, lebih dari seribu orang masuk Islam.
b. Kisah Nyata Syarifuddin Mengislamkan Ribuan Orang
Kisah nyata ini terjadi di Distrik Pumwani, Kenya, tahun 1998. Ribuan orang telah berkumpul di lapangan untuk melihat bocah ajaib, Syarifuddin Khalifah. Usianya baru 5 tahun, tetapi namanya telah menjadi buah bibir karena pada usia itu ia telah menguasai lima bahasa. Oleh umat Islam Afrika, Syarifuddin dijuluki Miracle Kid of East Africa.
Perjalanannya ke Kenya saat itu merupakan bagian dari rangkaian safari dakwah ke luar negeri. Sebelum itu, ia telah berdakwah ke hampir seluruh kota di negaranya, Tanzania. Masyarakat Kenya mengetahui keajaiban Syarifuddin dari mulut ke mulut. Tetapi tidak sedikit juga yang telah menyaksikan bocah ajaib itu lewat Youtube.
Orang-orang agaknya tak sabar menanti. Mereka melihat-lihat dan menyelidik apakah mobil yang datang membawa Syarifuddin Khalifah. Beberapa waktu kemudian, Syaikh kecil yang mereka nantikan akhirnya tiba. Ia datang dengan pengawalan ketat layaknya seorang presiden.
Ribuan orang yang menanti Syarifuddin Khalifah rupanya bukan hanya orang Muslim. Tak sedikit orang-orang Kristen yang ikut hadir karena rasa penasaran mereka. Mungkin juga karena mereka mendengar bahwa bocah ajaib itu dilahirkan dari kelarga Katolik, tetapi hafal al-Quran pada usia 1,5 tahun. Mereka ingin melihat Syarifuddin Khalifah secara langsung.
Ditemani Haji Maroulin, Syarifuddin menuju tenda yang sudah disiapkan. Luapan kegembiraan masyarakat Kenya tampak jelas dari antusiasme mereka menyambut Syarifuddin. Wajar jika anak sekecil itu memiliki wajah yang manis. Tetapi bukan hanya manis. Ada kewibawaan dan ketenangan yang membuat orang-orang Kenya takjub dengannya. Mengalahkan kedewasaan orang dewasa.
Kinilah saatnya Syaikh cilik itu memberikan taushiyah. Tangannya yang dari tadi memainkan jari-jarinya, berhenti saat namanya disebut. Ia bangkit dari kursi menuju podium.
Setelah salam, ia memuji Allah dan bershalawat kepada Nabi. Bahasa Arabnya sangat fasih, diakui oleh para ulama yang hadir pada kesempatan itu. Hadirin benar-benar takjub. Bukan hanya kagum dengan kemampuannya berceramah, tetapi juga isi ceramahnya membuka mata hati orang-orang Kristen yang hadir pada saat itu. Ada seberkas cahaya hidayah yang masuk dan menelusup ke jantung nurani mereka.
Selain pandai menggunakan ayat al-Quran, sesekali Syarifuddin juga mengutip kitab suci agama lain. Membuat pendengarnya terbawa untuk memeriksa kembali kebenaran teks ajaran dan keyakinannya selama ini.
Begitu ceramah usai, orang-orang Kristen mengajak dialog bocah ajaib itu. Syarifuddin melayani mereka dengan baik. Mereka bertanya tentang Islam, Kristen dan kitab-kitab terdahulu. Sang Syaikh kecil mampu memberikan jawaban yang memuaskan. Dan itulah momen-momen hidayah. Ratusan pemeluk Kristiani yang telah berkumpul di sekitar Syarifuddin mengucapkan syahadat. Menyalami tangan salah seorang perwakilan mereka, Syarifuddin menuntun syahadat dan mereka menirukan: “Asyhadu an laa ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasuulullah.”
Syahadat agak terbata-bata. Tetapi hidayah telah membawa iman. Mata dan pipi pun menjadi saksi, air mata mulai berlinang oleh luapan kegembiraan. Menjalani hidup baru dalam Islam. Takbir dari ribuan kaum muslimin yang menyaksikan peristiwa itu terdengar membahana di bumi Kenya.
Bukan kali itu saja, orang-orang Kristen masuk Islam melalui perantaraan bocah ajaib Syarifuddin Khalifah. Di Tanzania, Libya dan negara lainnya kisah nyata itu juga terjadi. Jika dijumlah, melalui dakwah Syarifuddin Khalifah, ribuan orang telah masuk Islam. Ajaibnya, itu terjadi ketika usia Syaikh kecil itu masih lima tahun.
Para ulama dan habaib sangat mendukung dakwah Syaikh Syarifuddin Khalifah. Bahkan ulama besar seperti al-Habib ali al-Jufri pun rela meluangkan waktunya untuk bertemu anak ajaib yang kini remaja dan berjuang dalam Islam. (Dikutip dari buku Mukjizat dari Afrika, Bocah yang Mengislamkan Ribuan Orang; Syarifuddin Khalifah).
(admin: Dibawah ini video Syarifuddin Khalifah saat masih 5 tahun, mengislamkan orang, dan... saya takjub dengan doa 'bayi ajaib ini' yang dengan lantang mendoakan para mujahidin... Allahumanshur mujahidin fii kulli makan... berulang kali )
Pernyataan Burhanudin Muhtadi yang dianggap menghina Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak bisa dibiarkan. Pernyataan itu adalah bukti pelecehan dan pencemaran nama baik penyelenggara pemilu.
"Ini harus dimejahijaukan," imbuh Wakil Ketua Komisi III DPR, Almuzzammil Yusuf, saat dihubungi, Sabtu (12/7).
Menurutnya, pernyataan Direktur Eksekutif Indikator Politik itu merusak KPU sebagai lembaga negara. Padahal, KPU merupakan lembaga yang kredibel dalam penyelenggaraan pemilu. Karena merupakan satu-satunya lembaga yang diberikan mandat untuk melakukan rekapitulasi suara.
Bayangkan, katanya, saat penghitungan semua saksi dipanggil dan diajak mengesahkan perolehan suara bersama-sama. "Quick count tidak seperti itu. Hitung cepat itu sepihak," imbu politikus PKS tersebut.
Ia pun berpesan kepada KPU untuk tidak segan melaporkan Burhanudin ke Bareskrim Polri. Karena yang dikatakan Burhanudin dinilainya sudah melanggar hukum. "Tidak bisa dibiarkan."
Beberapa waktu lalu, Burhanudin menyatakan hitung cepat yang dilakukan lembaganya sudah benar dan tepat. Bahkan, kalau ternyata hasil real count berbeda, maka KPU pasti salah. (ROL) *http://www.pkspiyungan.org/2014/07/dpr-minta-kpu-laporkan-burhanudin-ke.html
JAKARTA – Lembaga survei diminta tidak mengintimidasi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pernyataan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi terkait hasil hitung cepat dan perhitungan Komisi Pemilihan Umum dinilai tidak tepat.
Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (SIGMA), Said Salahuddin mengatakan, meski sebuah lembaga survei seringkali tepat dalam melakukan hitung cepat hasil pemilu, tetapi mereka tidak boleh menyatakan bahwa keputusan KPU salah jika hasilnya berbeda.
Menurut dia, jika ada pernyataan demikian maka lembaga survei itu sudah terlalu kelewatan.
“Sebagai pegiat di bidang Pemilu saya tidak bisa terima kalau KPU diancam-ancam seperti itu. Itu intimidasi intelektual namanya,” kata Said kepada Kompas.com, Jumat (11/7/2014).
Said menilai, quick count merupakan salah satu produk ilmu pengetahuan yang manfaatnya besar bagi demokrasi. Meski demikian, kehadiran quick count tidak boleh merusak sistem hukum pemilu yang berlaku.
Ia menambahkan, bahwa posisi real count yang dilakukan KPU telah diatur di dalam undang-undang. Sehingga, kata dia, posisi real count jauh di atas quick count yang dilakukan oleh lembaga survei.
“Jadi jangan dibolak-balik, seolah hasil hitung manual harus mengikuti atau harus dicocok-cocokan dengan hasil hitung cepat lembaga survei,” katanya.
Lebih jauh, ia mengatakan, sistem pemilu di Indonesia membuka ruang bagi peserta dan masyarakat untuk mengajukan komplain jika merasa dicurangi.
“Memang selalu ada potensi kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu dalam pelaksanaan rekapitulasi penghitungan suara. Tetapi tidak boleh memastikan ada kecurangan sebelum ditemukan bukti,” ujarnya seperti diberitakan KOMPAS online.
Lembaga survei Indonesia Research Center (IRC) membedah metodologi hitung cepat yang dilakukannya untuk memprediksi hasil pemungutan suara pada Pemilihan Presiden 9 Juli 2014.
IRC terdaftar di KPU sebagai lembaga yang berhak melaksanakan jajak pendapat, atau survei dan hitung cepat Pemilu 2014, dengan sertifikat bernomor 023/LS-LHC/KPU-RI/II/2014. Penyelenggaraan quick count didanai oleh RCTI, Global TV, dan Sindo TV.
Dalam keterangan pers, Jumat 11 Juli 2014, Direktur Penelitian IRC Yunita Mandolang, mengatakan bahwa penghitungan cepat (quick count) dilaksanakan dengan memilih 1.800 TPS sebagai sampel, yang tersebar di 33 provinsi se-Indonesia. Pemilihan sampel dilakukan dengan metode acak bertahap/wilayah. Pada tingkat kepercayaan 99 persen, ambang kesalahan adalah +/- 1 persen.
Berdasarkan hasil penghitungan yang berakhir pada pukul 15.36 WIB, maka prediksi perolehan suara kedua pasangan kandidat Presiden RI, pada 9 Juli 2014 adalah: Prabowo Subianto–Hatta Rajasa memperoleh 51,11 persen suara, dan Joko Widodo–Jusuf Kalla memperoleh 48,89 persen suara.
"Simpangan yang dimungkinkan terjadi adalah 50,11 persen sampai dengan 52,11 persen untuk Prabowo-Hatta, dan 47,89 persen sampai dengan 49,89 persen untuk Jokowi-JK," katanya.
Prediksi perolehan suara tersebut diperoleh dari rekapitulasi 1.800 tempat pemungutan suara (TPS) yang tersebar di 33 Provinsi, 440 Kota/Kabupaten, 1640 Kecamatan, 1.723 Kelurahan/Desa yang terpilih secara acak. Mayoritas relawan yang memantau penghitungan suara adalah mahasiswa.
Pengecekan ulang data kepada ketua-ketua TPS sampel dilakukan secara simultan. Saat ini, IRC sedang menunggu kelengkapan lembar pengesahan perolehan suara yang ditandatangani oleh ketua-ketua TPS yang menjadi sampel dan dikirimkan oleh para koordinator area di berbagai daerah, sebagai bukti tertulis.
Hasil perolehan suara ini hendaknya disikapi secara proporsional sebagai sebuah prediksi yang dilakukan secara ilmiah melalui 1.800 TPS sebagai sampel, dengan tingkat kepercayaan 99 persen, dengan kesalahan yang dimungkinkan sebesar ± 1%. Perolehan suara yang dihitung dari seluruh TPS hanya dilakukan oleh KPU.